40 Hadits Tentang Pemimpin dan Penjelasanya
Dalil boleh membatalkan sumpah jabatan, untuk mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat:
Diriwayatkan oleh Muslim, 1650, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِهَا وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ
“Barangsiapa yang bersumpah, dan dia
melihat yang lainnya itu lebih baik darinya, maka pilihlah yang lebih
baik dan tebuslah sumpahnya.”
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam
hadits ini ada dalil bahwa barang siapa yang bersumpah melakukan sesuatu
amalan atau meninggalkannya.
Sementara melanggar itu lebih baik dari
pada mengulur-ulur sumpah. Maka dia dianjurkan untuk melanggarnya dan
diharuskan menebusnya (kaffarah) dan hal ini telah disepakati.”
Dalil yang lainnya:
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ
Abu Said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada saya :
Ya Abdurrahman bin Samurah, jangan
menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan
tanpa minta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi
jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas
bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah
untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih
baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu. (Bukhari, Muslim)
40 Hadits lain Tentang Pemimpin dan Penjelasanya
Hadis ke 1
Kesejahteraan rakyat adalah Tanggung jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a berkata : saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan
akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala
negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.
Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang
isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal
tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga
yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari
hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya
(diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (buchary,
muslim)
Penjelasan:
Pada dasarnya, hadis di atas berbicara
tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa
etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang
yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya,
sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab,
sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung
jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya,
seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan
bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati,
gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan
semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan
tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari
itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya
seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang
dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan
kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat,
memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya.
Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan
binatang gembalanya.
Tapi cerita gembala hanyalah sebuah
tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga menggembala
manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi yang
diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi
manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan
hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang
disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah
pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau
denga kata lain, seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan
atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada
orang lain
Dengan demikian, karena hakekat
kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah
kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan
anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan
pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna
tanggung jawab yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan
memberikan gaji prt (pekerja rumah tangga) di bawah standar ump (upah
minimu provinsi), maka majikan tersebut belum bisa dikatakan bertanggung
jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam
memimpin negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah” saja, namun tidak
ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan
menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa dikatakan telah
bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus
diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan
kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat.
Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar
kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu
dipertanyakan.
Hadis ke 2
Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata:
saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang
diamanati oleh allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih
menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga.
(buchary, muslim)
Penjelasan:
Kejujuran adalah modal yang paling
mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat
bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh
dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak
didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka
jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran
di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada
pemimpin saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di
dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga
struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal tukang
sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena
tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi,
terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur.
Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan
itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Namun secara garis besar, yang sangat
ditekankan dalam hadis ini adalah seorang pemimpin harus memberikan suri
tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan
ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau
keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati
rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam hadis ini
disebutkan, diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga.
Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat
dan tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya hukuman “haram
masuk sorga” ini mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin
yang tidak jujur dan suka menipu rakayat.
Hadis ke 3
Pemimpin dilarang bersikap birokratis
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
‘Aisjah r.a berkata : saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya allah siapa yang
menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka
persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah
lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini menerangkan tentang larangan
seorang pemimpin untuk bersikap arogan, elitis, represif dan birokratis
atau mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Karena sebagaimana kita
ketahui, tidak sedikit pemimpin yang bersikap arogan dan mempersulit
urusan-urusan rakyatnya. Untuk mengurusi dokumen-dokumen kewarganegaraan
saja misalkan, seperti ktp, akta kelahiran, perijinan usaha, dsb,
seorang rakyat harus melalui tahapan-tahapan yang cukup rumit dan
memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Padahal, seorang pemimpin, menurut hadis
ini, harus memberikan pelayanan yang maksimal serta tidak menyulitkan
warga atau rakyat. Bila semua urusan itu bisa dipermudah kenapa harus
dipersulit. Akibatnya, birokrasi yang sejatinya bertujuan untuk
mempermudah, berbalik menjadi mempersulit segala urusan rakyat. Oleh
sebab itu, bila sorang pemimpin suka mempersulit urusan rakyatnya, maka
niscaya allah akan mempersulit segala urusan dia baik di dunia
lebih-lebih di akhirat nanti.
Hadis ke 4
Kontrak politik sebagai mekanisme kontrol terhadap pemimpin
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Abu hurairah r.a berkata : rasulullah saw
bersabda : dahulu bani israil selalu dipimpin oleh nabi, tiap mati
seorang nabi seorang nabi digantikan oleh nabi lainnya, dan sesudah aku
ini tidak ada nabi, dan akan terangkat sepeninggalku beberapa khalifah.
Bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: ya rasulullah apakah
pesanmu kepada kami? Jawab nabi: tepatilah baiatmu (kontrak politik)
pada yang pertama, dan berikan kepada mereka haknya, dan mohonlah kepada
allah bagimu, maka allah akan menanya mereka dari hal apa yang
diamanatkan dalam memelihara hambanya.
Penjelasan:
Pada umumnya, kata bai’at diartikan
sebagai janji. Namun sebenarnya, kata bai’at berasal dari suku kata
bahasa arab ba-ya-‘a yang bermakna transaksi. Bila transaksi ini
konteksnya adalah ekonomi maka ia berarti jual beli yang kemudian
dikenal dengan kata kerja bu yu’ yang berarti terjadinya transaksi
antara penjual dan pembeli. Akan tetapi bila konteks kata tersebut
adalah politik, maka yang dimaksud transaksi di sini adalah sebuah
perjanjian antar rakyat dan pemimpin. Karena itu, tak heran bila rasul
s.a.w senantiasa menekankan pentingnya bai’at dalam sebuah kepemimpinan,
dengan bai’at seorang pemimpin telah melakukan transaksi politik yang
menuntut pemenuhan atas point-poin yang menjadi ksepakatan dalam
transaksi mereka (pemimpin dan rakyat).
Akan tetapi, dalam konteks belakangan
ini, kata bai’at mengalami reduksi makna hanya sekedar sumpah jabatan
yang biasanya bersifat pasif dan tidak memberikan ruang tawar menawar
politik antara rakyat dan pemimpin. Bila kita melihat praktik sumpah
jabatan di indonesia misalkan, sumpah jabatan presiden hanya dibacakan
secara sepihak antara mpr dan presiden namun tidak menyisakan ruang
negoisasi antara rakyat dan prsiden. Padahal, rakyat sebagai pihak yang
dipimpin seharusnya berhak membuat kesepakatan-kesepakatan politik
tertentu dengan presiden yang bila kesepakatan itu dilanggar maka
jabatan presidien dengan sendirinya akan gugur. Oleh sebab itu, agar
sumpah jabatan ini tidak sekedar menjadi ritual dalam setiap pemilihan
presiden atau pemimpin namun tidak memiliki dampak yang berarti dalam
proses kepemimpinannnya, maka kemudian kita mengenal apa yang dalam
istilah politik disebut sebagai “kontrak politik”.
Kontrak politik di sini mengandung
pengertian sebuah ruang dimana antara pemimpin dan rakyat melakukan
“transaksi” dan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu yang memilki
resiko-resiko bila kedua belah pihak melanggarnya. Kontrak politik,
dalam hal ini tidak berbeda dengan ba’at dalam istilah islam. Hanya
saja, kontrak politik terjadi antara rakyat dan pemimpin secara setara
dan diketahui secara publik, tetapi bai’at dilakukan oleh rakyat,
pemimpin dan di atas keduanya ada tuhan sebagai saksi. Oleh sebab itu,
bila kita memaknai hadis di atas secara dalam dan kontekstual, maka kita
dapat menangkap pesan bahwa rasul s.a.w menekankan betapa pentingnya
sebuah kontrak politik dalam sebuah sistem kepemimpinan yang islami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar