Rendah Hati dalam Akhlak Tasawuf
- Pengertian tawadhu’
Secara Etimologi Arab kata, tawadhu’ berasal
dari kata ( تواضع- يتواضع) yang mempunyai arti (merendahkan diri,
rendah hati). Selain itu ada kata lain (وضع) yang artinya “tempat,
letaknya”. (Mahmud Yunus, 1992: 105).
Tawadhu’ secara Terminologi Menurut Al-Ghozali (1995:350). Tawadhu’ adalah mengeluarkan kedudukanmu atau kita dan menganggap orang lain lebih utama dari pada kita. Pada hakekatnya tawadhu’ itu
adalah “sesuatu yang timbul karena melihat kebesaran Allah, dan
terbukanya sifat-sifat Allah.” (Ahmad Athoillah, 2006: 448).[1] Tawadhu
adalah kerendahan hati yang tidak menilai dirinya lebih baik dari orang
lain dan tuntutannya adalah perilaku dan ucapan hormat kepada orang
lain. (Mulla Ahmad Naraqi, Mi’rajus Saadah, halaman 300).[2]
Ibnu Quddamah rahimahullah mengatakan dalam pembahasannya tentang Tawadhu’:‘Ketahuilah,
sesungguhnya makhluk ini sama seperti makhluk lainnya, mempunyai dua
sisi dan pertengahan: maka sisinya yang cenderung berlebihan dinamakan
sombong, dan sisi lainnya yang cenderung kepada kekurangan dan
kerendahan disebut kehinaan, dan pertengahan dinamakan Tawadhu’ –dan
itulah yang terpuji- yaitu merendahkan diri tanpa menghinakan diri…‘
Sebagaimana akhlak-akhlak yang lain, ketawadhu’an juga mempunyai dua
ujung dan pertengahannya. Salah satu ujungnya adalah yang cenderung
kepada sikap berlebihan, dan ini dinamakan kesombongan. Sedangkan ujung
yang lain adalah yang cenderung kepada sikap mengurang-ngurangkan, dan
ini dinamakan menghinakan dan merendahkan diri. Dan pertengahan antara
kedua sikap inilah yang dinamakan tawadhu’. Dan tawadhu’ yang terpuji
adalah yang tidak sampai menghinakan diri. Masing-masing dari dua ujung
ini tercela. Dan sebaik-baik perkara yang disukai Allah adalah
pertengahannya.[3]
Ibnu Qoyyim dalam kitab Madarijus Salikin berkata: “Barangsiapa yang
angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil
atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya, maka kesombongan
orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Alloh karena Alloh adalah
Al-Haq (benar); kalam-nya benar, agamanya-Nya benar. Kebenaran datangnya
dari Alloh dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa menyombongkan diri
untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala yang datang dari
Alloh dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”
مشتق من الضعة بكسر أوله وهي الهوان , والمراد بالتواضع إظهار التنزل عن المرتبة لمن يراد تعظيمه , وقيل هو تعظيم من فوقه لفضله .
Arti kata Tawadhu’ dari segi bahasa sama dengan makna kata al-hawaan yang
artinya, malu atau merasa rendah hati. Sedangkan secara istilah adalah
menampakkan kerendahan martabat diri pada orang yang dianggap lebih
mulia. Ada juga yang mengartikan Tawadhu’ adalah memuliakan seseorang yang lebih utama darinya.
Dalil-Dalil Al-Qur’an dan Al-Sunnah
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Artinya: Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah
orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina),
mereka mengucapkan “Salam”. (Al-Furqan: 63)
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
Artinya: Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong,
karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi, dan tidak
akan mampu menjulang setinggi gunung. (Al-Isra: 37)
Thabaathabaa’i memahami ayat 37 di atas dalam arti kiasan, yakni
kesombongan yang engkau lakukan untuk menampakkan kekuasaan dan
kekuatanmu pada hakikatnya adalah hanya waham dan ilusi, sebab
sebenarnya ada yang lebih kuat dari engkau yakni bumi, terbukti kakimu
tidak dapat menembus bumi, dan ada juga yang lebih tinggi darimu yakni
gunung, buktinya engkau tidak setinggi gunung. Maka akuilah bahwa engkau
sebenarnya rendah lagi hina. Tidak ada sesuatu yang dikehendaki dan
diperebutkan manusia dalam hidup ini seperti kerajaan, kekuasaan,
kemuliaan, harta benda dan lain-lain kecuali hal-hal yang bersifat waham
yang tidak mempunyai hakikat di luar batas pengetahuan manusia.. Itu
semua diciptakan dan ditundukkan Allah untuk diandalkan manusia guna
memakmurkan bumi dan penyempurnaan kalimat (ketetapan) Allah. Tanpa hal
yang tidak memiliki hakikat itu, manusia tidak hidup di dunia, dan
kalimat Allah yang menyatakan: “Bagi kamu ada tempat kediaman sementara di bumi dan matha (Kesenangan hidup) sampai waktu yang ditentukan” (QS. Al-Baqarah [2] : 36). Demikian lebih kurang Thabaathabaa’i.
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْر
Artinya: Dari Nabi SAW berkata: “tidak akan masuk surga siapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar zarrah.” (HR. Muslim, no. 33 juz 1)[4]
أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَد
Artinya:
“Dan Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar
tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak
seorang pun berlaku zhalim pada yang lain.” (HR.Muslim no. 2865)
Selama hidupnya, Rasulullah saw selau bersikap rendah hati, kasih
sayang, lemah lembut dan penuh toleransi. Sekalipun terhadap anak- anak
kecil. Sifat kenabian dan kedudukan tinggi beliau tidak menghalanginya
berbuat baik dan berakhlak mulia yang khusus diberikan Allah. Beliau
selalu memberi salam kepada anak- anak, bermuka manis kepada mereka, dan
meluangkan waktu sekedar untuk menyenangkan mereka.[5]
Anas bin Malik mengatakan bahwa ketika melewati kerumunan
anak- anak beliau mengucapkan salam kepada mereka. (HR Muttafaq alaih).
- B. Macam-Macam Tawadhu’ dan Tanda-Tandanya
Telah dibahas oleh para ulama sifat Tawadhu’ ini
dalam karya-karya mereka, baik dalam bentuk penggabungan dengan
pembahasan yang lain atau menyendirikan pembahasannya. Di antara mereka
ada yang membagi Tawadhu’ menjadi dua, jika dilihat dari baik buruknya:
1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-Tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.
2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu Tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin, 1/657).
Sikap Tawadhu’ di bagi menjadi empat macam dilihat dari objeknya:[6]
1. Tawadhu’ kepada Alloh SWT.
Tawadhu’ kepada Alloh SWT artinya merendahkan diri di hadapan-Nya. Tanda-tanda orang Tawadhu’ kepada Alloh SWT diantaranya:
Tawadhu’ kepada Alloh SWT artinya merendahkan diri di hadapan-Nya. Tanda-tanda orang Tawadhu’ kepada Alloh SWT diantaranya:
a. Merasa kecil/sedikit dalam ta’at kepada-Nya. Artinya, seorang yang Tawadhu’ kepada
alloh SWT itu merasa bahwa dalam ketaatan dan ibadahnya masih sangat
sedikit dibandingkan dengan dosa-dosa yang telah dilakukan.
b. Merasa besar/banyak dalam maksiat. Artinya, seorang yang Tawadhu’ kepada Alloh SWT, merasa bahwa dosa/maksiat yang telah dilakukan sangat besar/banyak dibandingkan dengan amalnya.
c. memperbanyak pujian kepada Alloh SWT. Dan tidak pada diri sendiri.
d. Tidak menuntut hak kepada Alloh, tetapi berorientasi pada amal yang harus dilakukan.
b. Merasa besar/banyak dalam maksiat. Artinya, seorang yang Tawadhu’ kepada Alloh SWT, merasa bahwa dosa/maksiat yang telah dilakukan sangat besar/banyak dibandingkan dengan amalnya.
c. memperbanyak pujian kepada Alloh SWT. Dan tidak pada diri sendiri.
d. Tidak menuntut hak kepada Alloh, tetapi berorientasi pada amal yang harus dilakukan.
2. Tawadhu’ kepada Agama
Tanda-tanda orang yang Tawadhu’ kepada agama diantaranya:
a. Tunduk dan patuh kepada aturan-aturan, perintah-perintah dan larangan-larangan di dalam agama islam.
Tanda-tanda orang yang Tawadhu’ kepada agama diantaranya:
a. Tunduk dan patuh kepada aturan-aturan, perintah-perintah dan larangan-larangan di dalam agama islam.
- Tawadhu’ kepada Rosululloh Saw.
Tanda-tanda orang Tawadhu’ pada Rosululloh diantaranya:
a. Mengutamakan petunjuk Rosululloh diatas manusia lainnya.
b. Mencintai, mentaati, dan mengikuti setiap perkataan dan perbuatan beliau.
c. Menjadikan Rosululloh Saw. Sebagai teladan hidupnya.4. Tawadhu’ kepada Sesama.Tanda-tanda orang yang Tawadhu’ kepada manusia diantaranya:
a. Menerima nasehat/saran kebenaran dari orang lain.
b. Senantiasa melihat kelebihan-kelebihan saudaranya, dan berusaha menutupi kekurangan-kekurangannya.
c. Siap membantu orang lain.
d. Bermusyawarah dengan anggota masyarakat yang lain.
e. Senantiasa berbaik sangka (khusnudzon) kepada orang lain. - C. Keutamaan Sifat Tawadhu’[7]
Allah Ta’ala berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83)
تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83)
Allah Ta’ala berfirman:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, dari kalangan orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara`: 215)
Dari Iyadh bin Himar radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Dan
Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar tidak
ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak
seorang pun berlaku zhalim pada yang lain.”(HR. Muslim no. 2865)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
مَا
نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ
إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah
itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf
kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak
ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan
mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Dari Al-Aswad rahimahullah dia berkata: Aku pernah bertanya kepada
‘Aisyah tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
ketika berada di rumah. Maka ‘Aisyah menjawab,
كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
“Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 6939)
Penjelasan ringkas:
Tawadhu’ dan
rendah diri kepada kaum mukminin merupakan sifat terpuji yang dicintai
oleh Allah dan Rasul-Nya. Karenanya barangsiapa yang tawadhu’ niscaya
Allah akan mengangkat kedudukannya di mata manusia di dunia dan di
akhirat dalam surga. Karenanya tidak akan masuk surga orang yang di
dalam hatinya ada kesombongan sekecil apapun, karena negeri akhirat
beserta semua kenikmatannya hanya Allah peruntukkan bagi orang yang
tidak tinggi hati dan orang yang Tawadhu’ kepada-Nya. Serta akan dihormati, disukai, disegani –walaupun dia tidak menginginkan itu semua- oleh orang-orang sekelilingnya.
Dan dalam hal ini -sebagaimana dalam sifat terpuji lainnya-, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam merupakan suri tauladan terbaik. Bagaimana
tidak sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan beliau untuk merendah
kepada kaum mukminin. Karenanya beliau senantiasa Tawadhu’ dan
bergaul dengan kaum mukminin dari seluruh lapisan, dari yang kaya
sampai yang miskin, dari orang kota sampai arab badui. Beliau duduk
berbaur bersama mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka agar
juga bersifat Tawadhu’.
Kedudukan beliau yang tinggi tidak mencegah beliau untuk melakukan
amalan yang merupakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.
Karenanya sesibuk apapun beliau, beliau tetap menyempatkan untuk
mengerjakan pekerjaan keluarganya di rumah.
- D. Cara Menghilangakan Kesombongan dan Mengupayakan Ketawadlu’an[8]
Perlu diketahui, bahwa kesombongan termasuk perkara-perkara yang membinasakan dan membinasakanya fardlu’ain. Tentu kesombongan tidak akan hilang dengan angan-angan belaka, melainkan harus diupayakan pelenyapanya dengan sungguh-sungguh.
a) Mencabut Pangkal Kesombongan
Ini hanya bisa dilakukan dengan ilmu dan amal bersama-sama. Hanya dengan
gabungan keduanya penyembuhan akan berlangsung sempurna.
Dari segi ilmu, hendaklah seseorang mengenal diri sendiri dan tuhanya,
dan bagaimana kedudukan dirinya dihadapan tuhanya. Dengan hal ini saja,
sesungguhnya sudah sangat memadai untuk menghilangan kesombongan. Sebab
jika seseorang benar-benar mengetahui dirinya sendiri, tentu ia juga
mengetahuai bahwa hanya tawadlu’lah sikap yang pantas dan sesuai dengan
dirinya. Dan jika ia mengenal tuhanya, tentu ia akan mengetahui bahwa
keagungan, dan kesombongan hanyalah hak Allah semata.
Sedangkan dalam segi amaliyah,
maka dengan membiasakan diri bersikap tawadlu’ terhadap orang lain
karena Allah semata, dan menetapi akhlak oprang-orang yang bertawadlu’
sebagaimana akhlak-akhlak yang telah dicontohkan oleh beliau Rasulullah
dan para shalihin.
Tawadlu’
tidak akan diperoleh hanya dengan mengetahui ilmunya saja, akan tetapi
pengamalan dalam kehidpan sehari-hari dengan sungguh-sungguh. Itulah
sebabnya orang-orang Arab yang menyombongkan diri kepada Allah dan
Rasulullah diperintahkan untuk beriman dan mengerjakan shalat berjama’ah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar