Pemimpin harus punya pedoman kepemimpinan
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو ابْنِ أَخٍ لِلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ عَنْ مُعَاذٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ عِنْدِي بِمُتَّصِلٍ وَأَبُو عَوْنٍ الثَّقَفِيُّ اسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ
Ketika rasul mengutus mu’adz ke yaman,
beliau bertanya: wahai mu’adz, bagaimana caramu memberikan
putusan/hukum? Dia menjawab; aku memutuskan/menghukumi berdasarkan
ketentuan dari al-qur’an. Lalu rasul bertanya lagi: bagaimana kalau
tidak ada dalam al-quran? Mu’adz menjawab, maka aku memutuskan
berdasarkan sunnah rasul s.a.w. Rasul bertanya lagi: bagaimana bila
tidak kau temukan dalam sunnah rasul ? Mu’adz menjawab: maka aku
berijtihad berdasarkan pendapatku sendiri. Rasul bersabda: segala puji
bagi allah yang telah memberikan petunjuk/taufik kepada duta rasul saw
Hadis ini turun ketika salah seorang
sahabat rasul s.a.w, mu’adz bin jabal, hendak diutus rasul untuk menjadi
gubernur di yaman. Namun sebelum mu’adz berangkat ke yaman, rasul
terlebih dahulu memanggilnya untuk di uji (fit and propertest) sejauh
mana dia bisa diandalkan menjadi gebernur. Akan tetapi materi test yang
disampaikan rasul tidak muluk-muluk, beliau hanya menanyakan tentang
pedoman dia (mu’adz) dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Dalam
pengakuan mu’adz, dia akan menjalankan roda kepemimpinanya sebagai
gubernur yaman dengan berlandaskan pada al-qur’an, sunnah, dan ijtihad
(berpikir dan bekerja keras). Untuk jawaban yang pertama dan kedua,
rasul mungkin sudah bisa menebak jawaban yang akan diberikan mu’adz,
akan tetapi untuk pertanyaan ketiga itulah rasul mencoba menggali sejauh
mana upaya mu’adz bila sebuah keputusan tidak ada dasarnya dalam
al-qur’an dan sunnah. Dan ternyata nabi cukup bangga kepada mu’adz
karena dia bisa menjawab pertanyaan ketiga itu dengan cukup memuaskan.
Ini artinya bahwa hadis di atas telah
memberikan isyarat kepada kita bahwa dalam menjalankan roda kepemimpinan
kita tidak bisa hanya mengandalkan pedoman al-qur’an dan sunnah, akan
tetapi kita juga harus pandai-pandai mencari alternatif pedoman yang
lain yang bisa mengilhami kita dalam mengeluarkan keputusan. Bukannya
kita hendak mengatakan bahwa al-qur’an dan sunnah tidak sempurna, akan
tetapi untuk merespon semua peristiwa yang terjadi di dunia ini kita
dituntut untuk mencari dan mencari segala macam alternatif solusinya.
Apabila kita tidak menemukan dasarnya di al-qur’an dan sunnah, mungkin
kita bisa mencarinya di nilai-nilai kearifan lokal yang telah tumbuh dan
berkembang di dalam sebuah masyarakat. Karena itulah kita juga mengenal
apa yang oleh para ahli ushul fiqh dikenal dengan ‘urf atau kaidah fiqh
yang berbunyi al-‘adah muhakkamah. Bahkan rasul pun pernah bersabda:
bila engkau menemukan kebijakan maka ambillah meski ia keluar dari mulut
anjing.
Hadis ke 34
Good and clean governance dalam Islam
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو بَكْرٍ الْعَطَّارُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ الْقَطَّانُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الْقَاضِي مَا لَمْ يَجُرْ فَإِذَا جَارَ تَخَلَّى عَنْهُ وَلَزِمَهُ الشَّيْطَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عِمْرَانَ الْقَطَّانِ
Rasul bersabda sesungguhnya allah
senantiasa bersama dengan hakim/qodi sepanjang dia tidak menyeleweng.
Kalau dia sudah menyeleweng maka allah akan menjauh darinya, dan syetan
menjadi temannya.
Selain islam mengajarkan pentingnya
prinsip keadilan dalam sebuah kepemimpinan, islam juga menekankan
pentingnya kepemimpinan yang bersih. Secara substansial, keduanya memang
tidak ada perbedaan yang berarti, bahkan bila seorang pemimpin sudah
berbuat adil, maka bisa dikatakan kepemimpinannya sudah bersih. Karena
keadilan merupakan forndasi dan perilaku bersih adalah dindingnya. Jadi
meski fondasinya kuat namun bila tidak ditopang oleh dinding yang juga
kuat, maka bangunagan itu mudah roboh oleh “goyangan-goyangan” dari
pihak luar. Oleh sebab itu, yang satu tidak bisa mengabaikan yang lain,
bahkan harus saling menopang antara keduanya.
lantas bagaimana yang dimaksud dengan
kepemimpinan yang bersih di dalam hadis ini? Yang dimaksud kepemimpinan
yang besih adalah sebuah sistem kepemimpinan yang tidak “dinodai” oleh
perilaku-perilaku menyeleweng dari pemimpinanya. Wujud konkrit dari
perilaku menyeleweng ini adalah seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selain itu, pemimpin juga dituntut harus menjaga “kebersihan” moralnya.
Sehingga yang dimaksud bersih kemudian bukan saja menyangkut perilaku
sosial melainkan juga perilaku individual.
sedangkan dalam konteks kepemimpinan
politik kontemporer, kita mengenal istilah yang disebut “clean and good
governance”. Istilah ini sebenarnya mengandung konsep dasar bahwa sebuah
kepemimpinan itu harus baik dan bersih, terutama bersih dari korupsi
dan modus-modus penyelewengan yang lain. Sehingga untuk mencapai sebuah
kepemimpinan seperti itu diperlukan kesetaraan peran antara negara
(pemerintah), pasar dan rakyat yang salah satu di antara ketiganya tidak
boleh ada yang mendominasi. Karena bila peran negara terlalu kuat atau
dominan maka akan menimbulakn hegemoni dan cenderung totaliter,
sedangkan bila peran pasar (swasta) yang terlalu dominan, maka semua
kehidupan rakyat akan diatur dengan modal atau pemilki modal. Bila
seseorang tidak punya modal, maka dia tidak punya posisi tawar yang
kuat. Sementara bila kedua instutusi di atas terlalu lemah, dan rakyat
begitu kuatnya, maka chaos atau kekacauan yang akan menghantui sebuah
negara. Oleh sebab itu, kembali pada hadis di atas, bahwa tindakatan
kotor seperti penyelewengan kekuasaan adalah tindakan yang sangat
dikutuk dalam islam. Dan sebaliknya, pemerintahan yang baik dan bersih
justru sangat ditekankan dan dijamin pasti akan dilindungi oleh allah.swt.
Hadis ke 35
Pemimpin harus peka terhadap Kebutuhan rakyat
قَال عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ لِمُعَاوِيَةَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ إِمَامٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
Setiap pemimpin yang menutup pintunya
terhadap orang yang memiliki hajat, pengaduan, dan kemiskinan maka allah
akan menutup pintu langit terhadap segala pengaduan, hajat dan
kemiskinannya.
Kepemimpinan bukan saja menuntut
kecerdasan otak dan kekuatan otot, melainkan juga harus ditunjang oleh
rasa sensifitas yang tinggi terhadap persoalan-persoalan menyangkut
rakyatnya. Sehingga apapun persoalan yang menimpa rakyatnya, maka
pemimpin harus peka dan segera mencarikan solusinya. Di sinilah
sebenarnya tugas pokok seorang pemimpin; yaitu mendengar keluh kesah
rakyat untuk kemudian mencarikan jalan keluarnya.
Karena itulah, islam (melalui hadis di
atas) memerintahkan seorang pemimpin untuk membuka pintu terhadap segala
keluh kesah rakyatnya. Tentunya, yang dimaksud pintu disini bukan
semata-mata berarti pintu rumah ataupun pintu istana, melainkan lebih
dari itu yang sangat ditekankan adalah pintu hati atau nurani seorang
pemimpin. Karena meski seorang pemimpin tinggal di istana megah dan
berpagarkan besi dan baja, bila pintu hatinya terbuka untuk kepentingan
rakayat, maka allah juga akan membukkaan “pintu hati-nya” untuk
mendengar keluh kesah sang pemimpin itu.
Hadis ke 36
Pemimpin dilarang mengambil keputusan dalam keadaan emosional
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ كَتَبَ أَبِي إِلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ قَاضٍ أَنْ لَا تَحْكُمْ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْكُمْ الْحَاكِمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو بَكْرَةَ اسْمُهُ نُفَيْعٌ
Janganlah seorang pemimpin (hakim) itu menghukumi antara dua orang yang berseteru dalam keadaan marah (emosional)
Keputusan seorang presiden adalah dasar
dari kebijakan sebuah negara. Begitu juga keputusan seorang pimpinan
dalam sebuah organisasi adalah acuan dalam menjalankan roda organisasi.
Oleh sebab itu, dalam mengambil keputusan atau mengeluarkan kebijakan,
seorang pemimpin sebaiknya tidak sedang dalam keadaan “panas”, marah,
atau emosional. Hal ini bukan saja ditentang oleh hadis nabi s.a.w
melainkan juga dikutuk oleh teori manajemen organisasi. Dalam teori
manajemen organisasi dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh mengeluarkan
atau membuat keputusan dalam keadaan marah atau emosi yang tidak
stabil. Bila dipaksakan, maka keputusan itu dihasilakan dari sebuah
proses yang kurang matang dan terburu-buru sehingga dampaknya akan
sangat merugikan terhadap pelaksana keputusan tersebut.
Meski di dalam hadis ini yang disebutkan
adalah hakim, namun secara substansial kita sepakat bahwa dalam keadaan
emosi labil, siapapun orangnya, baik hakim, pemimpin, maupun orang awam
sekalipun, sebaiknya tidak perlu mengambil keputusan. Banyangkan bila
kita sedang bertengkar dengan istri di rumah misalkan, tetapi setelah di
tiba di kantor kita disuguhi sebuah persoalan yang harus diputuskan,
maka bisa jadi sisa-sisa emosional kita di rumah, secara sadar atau
tidak, akan ikut terbawa hingga ke kantor dan mempengaruhi kita dalam
memutuskan sebuah perkara. Oleh sebab itu, bila kita hendak mengambil
keputusan maka terlebih dahulu kita harus mendinginkan suasana dan
menengkan pikiran sehingga semua pertimbangan bisa kita akomodir secara
seimbang dan matang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar