Pemimpin dilarang bersikap otoriter
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ أَنَّ عَائِذَ بْنَ عَمْرٍو وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ فَقَالَ لَهُ اجْلِسْ فَإِنَّمَا أَنْتَ مِنْ نُخَالَةِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَهَلْ كَانَتْ لَهُمْ نُخَالَةٌ إِنَّمَا كَانَتْ النُّخَالَةُ بَعْدَهُمْ وَفِي غَيْرِهِمْ
‘Aidz bin amru r.a, ketika ia masuk
kepada ubaidillah bin zijad berkata: hai anakku saya telah mendengar
rasulullah saw bersabda: sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah yaitu
yang kejam (otoriter), maka janganlah kau tergolong daripada mereka.
(HR. Buchary, Muslim)
Penjelasan: –
Hadis ke 6
Pemimpin sebagai pelayan rakyat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ
Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada
muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang
diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia
sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak hajat
kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah
mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang
(rakyat). (abu dawud, attirmidzy)
Penjelasan:
Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat
sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadis di
atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di atas menyebutkan
rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadis
ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin tidak
lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah
melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak
beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani
kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan,
harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian
juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk
melayani seluruh kepentingan rakyatnya.
Dalam konteks indoensia, sosok “pelayan”
yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini adalah
presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota, gubernur, kepala
desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah
orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk
mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena
itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat,
maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.
Hads ke 7Pemimpin harus bersikap adil
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ
Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi
saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah,
pada hati tiada naungan kecuali naungan allah:
Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang
rajin ibadah kepada allah. Dan orang yang hatinya selalu gandrung
kepada masjid. Dan dua orang yang saling kasih sayang karena allah, baik
waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina oleh
wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada
allah. Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan
kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan
orang berdzikir ingat pada allah sendirian hingga mencucurkan air
matanya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Meski hadis ini menjelaskan tentang tujuh
macam karakter orang yang dijamin keselamatannya oleh allah nanti pada
hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh hadis ini adalah karakter
orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita
menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin
yang adil memang menjadi tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia.
Tanpa pemimpin yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam
jurang penderitaan yang cukup dalam.
Untuk melihat sejauh mana seorang
peimimpin itu telah berlaku adil terhadap rakyatnya adalah melalui
keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila seorang
pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya
yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka
pemimpin itu bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila
pemimpin itu hanya menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi
melindungi sebagian yang lain (elit/konglomerat), padahal mereka
sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu telah berbuat dzalim dan
jauh dari perilaku yang adil.
Hadis ke 8
Jaminan bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Abdullah bin ‘amru bin al ‘ash r.a
berkata: rasulullah saw bersabda: sesungguhnya orang-orang yang berlaku
adil, kelak disisi allah ditempatkan diatas mimbar dari cahaya, ialah
mereka yang adil dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja yang
diserahkan (dikuasakan) kepada mereka. (muslim)
Penjelasan:
Bila hadis sebelumnya berbicara tentang
“garansi” allah atas pemimpin yang berbuat adil, maka hadis ini lebih
mengulas tentang “imbalan” bagi seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis
ini disebutkan bahwa imbalan bagi pemimpin yang adil adalah kelak di
sisi allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya. Secara harfiyah,
mimbar berarti sebuah tempat khusus untuk orang-orang yang hendak
berdakwah atau berceramah di hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at
biasanya mengacu pada sebuah tempat khusus yang disediakan masjid untuk
kepentingan khotib. Sementara cahaya adalah sebuah sinar yang menerangi
sebuah kehidupan. Kata cahaya biasanya mengacu pada matahari sebagai
penerang bumi, lampu sebagai penerang dari kegelapan, dsb. Oleh sebab
itu, kata mimbar dari cahaya di dalam hadis di atas tentu tidak serta
merta dimaknai secara harfiyah seperti mimbar yang dipenuhi hiasan
lampu-lampu yang bersinar terang, melainkan mimbar cahaya adalah sebuah
metafor yang menggambarkan sebuah posisi yang sangat terhormat di mata
allah. Posisi itu mencrminkan sebuah ketinggian status setinggi cahaya
matahari.
Hadis ke 9
Sorga bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ وَاللَّفْظُ لِأَبِي غَسَّانَ وَابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ الْمُجَاشِعِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ َأَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ
Ijadl bin himar r.a berkata: saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda: orang-orang ahli surga ada tiga
macam: raja yang adil, mendapat taufiq hidayat ( dari allah). Dan orang
belas kasih lunak hati pada sanak kerabat dan orang muslim. Dan orang
miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri.
(muslim).
Penjelaan:
Bila yang pertama tadi allah akan
menjamin pemimpin yang berbuat adil dengan jaminan naungan rahmat dari
allah, dan hadis selanjutnya menjamin dengan jaminan mimbar yang terbuat
dari cahaya, maka jaminan yang ke tiga ini adalah jaminan sorga. Ketiga
jaminan di atas tentunya bukan sekedar jaminan biasa, melainkan semua
jaminan itu menunjukkan betapa islam sangat menekankan pentingnya sikap
keadilan bagi seorang peimimpin. Rasul s.a.w tidak mungkin memberikan
jaminan begitu tinggi kepada seseorang kecuali seseorang itu benar-benar
dituntut untuk melakukan hal yang sangat ditekankan dalam islam. Dan
keadilan adalah perkara penting yang sangat ditekankan dalam islam. Oleh
karena itu, siapa yang menjunjung tinggi keadilan, niscaya orang
tersebut akan mendapat jaminan yang tinggi dari islam (allah), baik di
dunia, maupun di akhirat.
Hadis ke 10
Batas-batas kepatuhan rakyat terhadap pemimpin
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw :
seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada pemerintahannya, dalam
apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah
ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan
tidak wajib ta’at.
Penjelasan:
Hadis di atas menunjukkan kepada kita
bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada
batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at dan patuh dan
ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak
atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap
pemimpin itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk
berbuat ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan ma’siyat
itu?
Secara bahasa ma’siyat adalah berarti
durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun secara istilahi, makna
ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita
membatasi makna ma’siyat hanya pada perkara-perkara semacam pornografi
dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan
dalih menghapus kema’siyatan.
Padahal kem’siyatan bukan hanya berada di
tempat hiburan malam, akan tetapi di kantor-kantor pemerintah justru
lebih banyak kema’siyatan dalam bentuknya yang samar namun cukup
memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen, di
ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita
bisa menjumpai kema’siyatan. Namun yang dimaksud kema’siyatan di sini
tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan,
melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan
oleh para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita.
Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidak
jujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang
tidak berpihak pada rakyat kecil juga termasuk ma’siyat. Bukan hanya
itu, seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari
pemimpin yang korup juga telah masuk dalam kategori berbuat ma’siyat.
Bahkan tindakan yang tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda
tua dan kaum miskin papa juga termasuk ma’siyat karena semua itu
merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang tidak melaksanakan
perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang durhaka
berarti berbuat ma’siyat kepada allah.
Dengan demikian, kema’siyatan yang tidak
perlu dipatuhi seorang rakayat terhadap pemimpinnya adalah kema’siyatan
dengan pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai allah) bukan saja
kema’siyatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi dan pornografi).
Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila
pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip kejujuran serta
tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan
kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya,
karena pemimpin itu sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk
di hapuskan di muka bumi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar